Slider

Gedung PKBM Himmata

Digunakan untuk Pembinaan dan Pendidikan bagi Anak Jalanan, Yatim dan Dhuafa.

Usaha Mandiri Pembuatan Sabun Cair Glassklin dan Otoklin

Proses Produksi dan Distribusi sabun ke Pemerhati Himmata.

Kegiatan Belajar Mengajar Harian

Diantaranya PAUD, Paket A setara SD, Paket B Setara SMP dan Paket C Setara SMA.

Musyawarah Kerja

Program rutin yang dilakukan untuk merancang program kerja tahunan.

Primeir League Bersama Kementerian Sosial RI

Mitra Himmata dalam Pendidikan dan Pembinaan Olahraga..

Pages

28 Agu 2011

PKBM Himmata di Majalah LIFESTYLE

Gedung Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Himmata Jakarta, sangat sederhana. Berada di sekitar rawa-rawa, Tanah Merah, Koja Jakarta Utara. Jalan menuju lokasi pun melalui gang sempit penuh liku yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Tapi di tempat inilah asa sekitar 600 orang pengemis jalanan, anak terminal, yatim piatu dan anak-anak dari keluarga miskin dibentuk dan diasah. Mereka mengikuti kejar paket A (setara SD), paket B (setara SMP) dan paket C (setara SMU).


Menurut Ketua PKBM Himmata, Nurrahman, S.PD, menjelaskan Yayasan Himmata sendiri berdiri tahun 1997 dan mendapat legalitas 2000. Sementara PKBM berdiri 2001 dan resmi membuka layanan pendidikan tahun 2004.

Awalnya memang hanya untuk anak jalanan, anak duafa, anak yatim piatu piatu. Tapi dalam perkembangannya kemudian, sekolah ini banyak diminti orang umum karena mungkin mereka secara finansial mereka tidak mampu membayar uang sekolah di sekolah formal dan ada pula pula yang tidak bisa memenuhi syarat administrative. Misalnya bererapa anak yang menimba ilmu di tempat ini tidak memiliki akte kelahiran.
Anak jalanan sendiri dibagi dua. Pertama; anak jalanan yang sudah mau merubah diri dan ikut secara aktif mengikuti pelajaran di PKBM sebagaimana lazimnya sekolah yang harus ada jam belajar. Kedua, anak jalanan yang belum mau berubah mengikuti aturan sekolah. Mereka ini tetap dibiarkan kembali ke terminal sambil terus lakukan pendekatan tahap demi tahap. Anak jalanan kelompok kedua ini disebut binaan khusus. 

Anak-anak kita ini benar-benar dari latar belakang yang kurang beruntung. Ada anak yang tidak tahu siapa orang tuanya, ada bekas bajing loncat yang biasa menguras muatan truk, ada bekas copet dalam bus bahkan copet Kereta Api antar kota. Dengan latar belakang yang demikian, makanya agak sulit mengajak mereka mengikuti norma atau aturan. Namun kami tidak patah semangat. Biasanya kami mmengundang mereka lewat pagelaran music Temu Anak Jalanan di PKBM sekali seminggu. Sehingga mereka yang masih suka brutal bisa melihat kemajuan teman-temannya yang sudah mau ‘dijinakkan. Tapi terus terang, tidak semua mau kita rangkul. Banyak juga yang akhirnya terpental,” kata Nurrohman, S.Pd. 

Memang di PKBM Himmata ada 3 mata pelajaran unggulan. Yakni bermain music, sekarang sudah punya studio sendiri berkat sumbangan dari artis-artis papan atas di Jakarta diantaranya Ikang Fauzi, Dwiki Darmawan, dll. Kini PKBM Himmata sudah punya Grup Band, yang diberi nama Natural Band yang dalam waktu dekat akan segera masuk dapur rekaman. Seluruh personilnya adalah bekas pengamen jalanan.
Bahkan ada beberapa anak dari PKBM Himmata yang yang berhasil membintangi 3 film. Yakni film Alangkah Lucunya Negeri ini yang disutradarai oleh Dedy Miswar, film Obama Anak Menteng dan Ketika Hati Bergetar yang digarap pada bulan puasa 2010 lalu. “Dia juga betul-betul anak jalanan. Tapi sudah mau berubah,” tambah Nurrohman.

MENGABDI JADI PENGAJAR
Carnasim, Nurohman, Darwin & Syahrudin
Salah satu angkatan pertama dari Yayasan Himmata adalah Syahrudin. Kepada LIFESTYLE pria yang sudah menikah 6 bulan lalu ini menceriterakan, dirinya dibesarkan dari keluarga broken home. Tahun 1996 dia lulus SD tapi karena tidak kerasan di rumah, dia jadi pemulung di daerah Jakarta Utara. Tahun 1998, dia ditemui seseorang di sebuah tempat dan mengajaknya pulang. Ternyata dibawa di Tempat Pengajian Qur’an (TPQ) milik Yayasan Himmata. Kemudian terus dididik hingga lulus kejar paket C (setara SMU). Kini Syahrudin menjadi Kepala Sekolah Kejar Paket B (SMP).

begitu juga dengan rekan Syahrudin, Saiful Bahri/ Roni (salah satu angkatan pertama yang aktif dijalanan). “Saya tidak tahu mau jadi apa sekarang seandainya tidak ditarik Himmata 15 tahun yang lalu. Dulu kalau saya bosan mengemis di terminal Tanjung Priok, saya pergi naik KA ke Semarang, Yogyakarta atau ke Surabaya sambil ngemis. Tapi di Himmata, saya banyak sekali mendapat ilmu. Termasuk sekarang saya dipercaya menjadi translater atau penerjemah bila ada tamu asing datang. Makanya saya mengabdikan ilmu yang saya dapat kepada teman-teman sesame anak jalanan,” kata Pak Guru yang biasa dipanggil Bejo ini. 


TAMU MENTERI DAN DUBES
PKBM Himmata memang sering dikunjungi LSM asing dan Duta Besar (Dubes) Negara sahabat. “Mereka sangat care dengan kami. Ada yang menyumbangkan kursi dan meja belajar, ada juga yang menyumbangkan beberapa unit computer. Kepercayaan berbagai kalangan dari dalam dan luar negeri memberikan sumbangan tak lepas dari keterbukaan manajemen. Mungkin ini PKBM satu-satunya di Indonesia yang sudah menggunakan auditor independent,” kata Nurrohman.

Pengusaha papan atas, artis ibukota dan Menteri tercatat pernha mengunjungi. Sebut saja Menteri Sosial DR. H. Salim Segaf Al Jufrie dan Menteri Pendidikan Nasional Prof. DR. Moh Nuh DEA.

Kurikulum pendidikan PKBM Himmata memang agak berbeda dengan sekolah umum. Disini program unggulan ada tiga, yakni main musik atau band, membuat kerajinan dari berbaga limbah dan service hp. Pendukung lain, membuat sampo pencuci piring, sampo motor dan sampo mobil. Bahkan sedang dikembangkan pelajaran membuat jamu dan es krim atas kerjasama dengan PT Mahkota Dewa Indonesia.

Semua guru-guru di sini tidak mungkin betah mengajar kalau bukan karena panggilan jiwa. Ada kebahagiaan luar biasa dalam hati setelah mengajarkan sesuatu yang bermanfaat bagi anak-anak ini. Saya yakin, kami kuat juga berkat doa mereka,” kata Sulastri, yang menjadi pengajar bidang kerajinan.
Gaji atau honor mengajar memang tidak bisa diharapkan. Sejak berdiri tahun 2004-2010, semua siswa betul-betul dibebaskan dari biaya. Bahkan adakalanya pihak Yayasan Himmata harus menyiapkan seragam dan sepatu sekolahnya. Tapi sejak tahun 2010 semakin banyak anak dari masyarakat umum memasukkan anaknya ke sekolah ini. Akhirnya pihak Yayasan bermusyawarah dengan wali murid dan disepakati bagi yang mampu memberi infak atau dana suka rela. Untuk paket A atau setara SD itu Rp 15.000/bulan, paket B setara SMP Rp 20.000/bulan dan Paket C setara SMU disepakati Rp 25.000. Karena tidak ada istilah dikeluarkan dari sekolah gara-gara tidak bayar infak, nyatanya ada yang bayar cuma Rp 5.000/bln, ada yang bayar Rp 10.000. Robinson Simarmata

Pentingnya Pendidikan Menurut Islam


Bunda, apakah ilmumu hari ini? Sudahkah kau siapkan dirimu untuk masa depan anak-anakmu? Bunda, apakah kau sudah menyediakan tahta untuk tempat kembali anakmu? Di negeri yang Sebenarnya. Di Negeri Abadi? Bunda, mari kita mengukir masa depan anak-anak kita. Bunda, mari persiapkan diri kita untuk itu.
Hal pertama Bunda, tahukah dikau bahwa kesuksesan adalah cita-cita yang panjang dengan titik akhir di Negeri Abadi? Belumlah sukses jika anakmu menyandang gelar atau jabatan yang tertinggi, atau mengumpulkan kekayaan terbanyak. Belum Bunda, bahkan sebenarnya itu semua tak sepenting nilai ketaqwaan. Mungkin itu semua hanyalah jalan menuju ke Kesuksesan Sejati. Atau bahkan, bisa jadi, itu semua malah menjadi penghalang Kesuksesan Sejati.


Gusti Allah Yang Maha Mencipta Berkata dalam KitabNya:
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS 3:185) 


Begitulah Bunda, hidup ini hanya kesenangan yang menipu, maka janganlah tertipu dengan tolok ukur yang semu. Pancangkanlah cita-cita untuk anak-anakmu di Negeri Abadi, ajarkanlah mereka tentang cita-cita ini. Bolehlah mereka memiliki beragam cita-cita dunia, namun janganlah sampai ada yang tak mau punya cita-cita Akhirat.

Kedua, setelah memancangkan cita-cita untuk anak-anakmu, maka cobalah memulai memahami anak-anakmu. Ada dua hal yang perlu kau amati:
Pertama, amati sifat-sifat khasnya masing-masing. Tidak ada dua manusia yang sama serupa seluruhnya. Tiap manusia unik. Pahami keunikan masing-masing, dan hormati keunikan pemberian Allah SWT.
Yang kedua, Bunda, fahami di tahap apa saat ini si anak berada. Allah SWT mengkodratkan segala sesuatu sesuai tahapan atau prosesnya.
Anak-anak yang merupakan amanah pada kita ini, juga dibesarkan dengan tahapan-tahapan.
Tahapan sebelum kelahirannya merupakan alam arwah. Di tahap ini kita mulai mendidiknya dengan kita sendiri menjalankan ibadah, amal ketaatan pada Allah dan juga dengan selalu menjaga hati dan badan kita secara prima. Itulah kebaikan-kebaikan dan pendidikan pertama kita pada buah hati kita.
Pendidikan anak dalam Islam, menurut Sahabat Ali bin Abitahalib ra, dapat dibagi menjadi 3 tahapan/ penggolongan usia:
  1. Tahap BERMAIN (“la-ibuhum”/ajaklah mereka bermain), dari lahir sampai kira-kira 7 tahun.
  2. Tahap PENANAMAN DISIPLIN (“addibuhum”/ajarilah mereka adab) dari kira-kira 7 tahun sampai 14 tahun.
  3. Tahap KEMITRAAN (“roofiquhum”/jadikanlah mereka sebagai sahabat) kira-kira mulai 14 tahun ke atas.
Ketiga tahapan pendidikan ini mempunyai karakteristik pendekatan yang berbeda sesuai dengan perkembangan kepribadian anak yang sehat. Begitulah kita coba memperlakukan mereka sesuai dengan sifat-sifatnya dan tahapan hidupnya.

Hal ketiga adalah memilih metode pendidikan. Setidaknya, dalam buku dua orang pemikir Islam, yaitu Muhammad Quthb (Manhaj Tarbiyah Islamiyah) dan Abdullah Nasih ’Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam), ada lima Metode Pendidikan dalam Islam.
Yang pertama adalah melalui Keteladanan atau Qudwah, yang kedua adalah dengan Pembiasaan atau Aadah, yang ketiga adalah melalui Pemberian Nasehat atau Mau’izhoh, yang keempat dengan melaksanakan Mekanisme Kontrol atau Mulahazhoh, sedangkan yang terakhir dan merupakan pengaman hasil pendidikan adalah Metode Pendidikan melalui Sistem sangsi atau Uqubah.
Bunda, jangan tinggalkan satu-pun dari ke lima metode tersebut, meskipun yang terpenting adalah Keteladanan (sebagai metode yang paling efektif).

Setelah bicara Metode, ke empat adalah Isi Pendidikan itu sendiri. Hal-hal apa saja yang perlu kita berikan kepada mereka, sebagai amanah dari Allah SWT.
Setidak-tidaknya ada 7 bidang. Ketujuh Bidang Tarbiyah Islamiyah tersebut adalah: (1) Pendidikan Keimanan (2) Pendidikan Akhlaq (3) Pendidikan Fikroh/ Pemikiran (4) Pendidikan Fisik (5) Pendidikan Sosial (6) Pendidikan Kejiwaan/ Kepribadian (7) Pendidikan Kejenisan (sexual education). Hendaknya semua kita pelajari dan ajarkan kepada mereka.


Ke lima, kira-kira gambaran pribadi seperti apakah yang kita harapkan akan muncul pada diri anak-anak kita setelah hal-hal di atas kita lakukan? Mudah-mudahan seperti yang ada dalam sepuluh poin target pendidikan Islam ini:

Selamat aqidahnya, Benar ibadahnya, Kokoh akhlaqnya, Mempunyai kemampuan untuk mempunyai penghasilan, Jernih pemahamannya, Kuat jasmaninya, Dapat melawan hawa nafsunya sendiri, Teratur urusan-urusannya, Dapat menjaga waktu, Berguna bagi orang lain.

Insya Allah, Dia Akan Mengganjar kita dengan pahala terbaik, sesuai jerih payah kita, dan Semoga kita kelak bersama dikumpulkan di Negeri Abadi. Amin. Wallahua’lam, (SAN)

Masih Adakah Ruang Bagi Anak Jalanan

Hampir saja lupa kalau 23 Juli telah ditetapkan sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Momentum seperti ini seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan refleksi terhadap silang-sengkarutnya dunia anak yang terkebiri dan termarginalkan. Tak jarang anak-anak dari keluarga tak mampu sering “dipaksa” untuk secepatnya menjadi dewasa dengan beban tanggung jawab ekonomi keluarga secara berlebihan sehingga mereka tak sempat menikmati masa kanak-kanak yang ceria dan menyenangkan. Sudut-sudut kota pun sarat dengan keliaran anak-anak jalanan. Ironisnya, tak sedikit aparat yang menilai kehadiran mereka sebagai sampah masyarakat yang mesti dikarantina tanpa ada kemauan politik untuk membebaskan mereka dari cengkeraman kemiskinan dan ketidakadilan. Anak jalanan, agaknya masih menjadi salah satu problem klasik negara-negara berkembang, termasuk di negara kita. Kehadiran mereka di sudut-sudut kota yang pengap dan kumuh bisa jadi sangat erat kaitannya dengan jeratan kemiskinan yang menelikung orang tuanya. Masih jutaan keluarga di negeri ini yang hidup di bawah standar kelayakan. Untuk menyambung hidup, mereka dengan sengaja mempekerjakan anak-anak untuk berkompetisi di tengah pertarungan masyarakat urban yang terkesan liar dan kejam. Kekerasan demi kekerasan seperti mata rantai yang menempa sekaligus menggilas anak-anak miskin hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang terbelah. Tentu saja, kita tidak bisa bersikap apriori dengan mengatakan, “Salahnya sendiri, kenapa miskin?” Hmmm … kalau saja mereka punya pilihan untuk dilahirkan, sudah pasti tak ada seorang pun anak manusia yang ingin lahir dan besar di tengah-tengah deraan kemiskinan orang tuanya.
Dari sisi latar belakang kehidupan keluarga yang sangat tidak nyaman untuk tumbuh dan berkembang secara wajar, sesungguhnya tak ada tempat untuk menyia-nyiakan anak-anak miskin yang terlunta-lunta hidup di jalanan. Kehadiran mereka justru perlu diberdayakan dengan sentuhan lembut penuh kemanusiawian. Namun, berkembangnya sikap latah dan kemaruk ingin menjadi kaum borjuis dan bergaya hidup feodal secara instan agaknya telah membakar dan menghanguskan nilai-nilai kemanusiawian itu. Alih-alih menyantuni, gaya hidup borjuasi dan feodalistik itu, disadari atau tidak, justru telah memosisikan anak-anak jalanan makin kehilangan kesejatian dirinya. Kata-kata kasar dan perlakuan tak senonoh sudah menjadi hiasan hidup dalam keseharian anak-anak jalanan. Orang-orang kaya yang seharusnya bisa memberdayakan dan menggerakkan semangat hidup mereka justru makin tenggelam dalam sikap hipokrit, pongah, dan kehilangan kepekaan terhadap nasib sesama.
Kondisi itu diperparah dengan sikap negara yang belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan memadai buat mereka. Melalui tangan-tangan aparatnya, anak-anak jalanan justru digaruk dan dihinakan di atas mobil bak terbuka; diarak dan dipertontonkan kepada publik. Sungguh, sebuah perlakuan purba yang jauh dari nilai-nilai kesantunan masyarakat beradab.
Kini, ketika momentum HAN itu tiba, tak jugakah kita tergerak untuk menjadikan anak-anak jalanan sebagai generasi masa depan yang punya hak untuk hidup secara layak di bumi yang konon “gemah ripah loh jinawi” ini? Sudah tak ada ruangkah bagi mereka untuk bersemayam di dalam rongga hati kita hingga akhirnya mereka benar-benar harus kehilangan masa depan? ***