Slider

Pages

26 Mei 2010

Mereka Di Urus Temannya

Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Itu bunyi Pasal 34 UUD 1945, tetapi nyatanya bunyi pasal itu seolah menjadi, fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh temannya.... Begitulah gambaran kehidupan anak jalanan yang tinggal di rumah singgah atau pondok penampungan. windoro adi/ Clara Wresti/Agnes Rita S
Melihat anak-anak berkeliaran di jalan terlebih di bawah siraman hujan sungguh memilukan hati. Banyak warga terketuk, lalu memberi uang sedekah, sekalipun mereka sadar bukan hal itu yang sesungguhnya dibutuhkan anak-anak itu.
Tak seharusnya anak-anak (0-18 tahun) berkeliaran di jalan menentang bahaya kejahatan atau kecelakaan demi sesuap nasi. Namun, kenyataan tak selalu sama dengan harapan. Kemiskinan, kondisi keluarga yang pecah, orangtua tak bertanggung jawab membuat anak-anak itu terlempar ke jalanan menjadi peminta-minta atau pengamen.
Siapa peduli dengan mereka? Pemilik dan pengelola rumah singgah tentunya. Mengapa bukan dinas sosial? Harus diakui, peran pemerintah langsung di lapangan tak tampak menonjol. Menyebut panti milik pemerintah justru membuat anak jalanan ketakutan. Panti sosial seolah menjadi momok, sebaliknya terjadi kedekatan hubungan antara anak jalanan dan pengelola rumah singgah tertentu.
”Kata Ibu, sanggar ini sama dengan sekolah,” ucap Ayunita (9). Ibu yang dimaksud adalah pembimbing di rumah singgah Sanggar Indonesia Street Children Organization (ISCO) di Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Bocah yang keluar dari sekolah menjelang kenaikan kelas II SD itu kini bergabung dengan belasan anak lain di ISCO. Aktivitas sanggar ada di ruang kontrakan sesak yang terisi 10 bocah dan Yani, pendampingnya.
Ayu—panggilan Ayunita—berada di antara teman yang belajar huruf Arab atau mengerjakan soal Matematika. Sesekali Ayu mendapat giliran berhitung. Dia masih bisa penambahan, pengurangan, dan sedikit perkalian. Saat Ayu masih sekolah di Karawang, Jawa Barat, setengah tahun silam, ibunya meminta Ayu keluar dari sekolah.
Saat Lebaran, ibunya mengajak Ayu mengemis masuk-keluar masjid. Itu saat Ayu merasakan turun ke jalan mencari uang. Ayu dan ibunya lalu tinggal di Kebun Melati Tanah Abang yang memiliki lingkungan kumuh, lalu belajar di ISCO yang mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Seusai belajar, anak-anak bermain, sementara pendamping menyediakan susu dan makanan. Setelah menyantap hidangan, mereka kembali ke rumah masing-masing.
Antara rumah singgah yang satu dan yang lain memiliki kemampuan finansial berbeda, ada yang sedang-sedang saja, cukup kaya, tetapi ada pula yang pas- pasan. Saking pasnya, anak-anak yang datang ke sana hanya mendapat makanan ketika puasa dan Lebaran tiba. Itulah yang terjadi di Rumah Singgah Putra Bangsa Duren Sawit, Jakarta Timur.
Ia berada di sekitar hunian untuk 500 pemulung. Gundukan sampah plastik dan rongsokan logam setinggi lebih dari satu setengah meter seakan mengelilingi rumah singgah yang dipimpin Mariana itu.
Sejak berdiri, rumah singgah itu menjadi tempat membimbing 100 anak. ”Anggota resminya cuma 60 anak, tapi yang ke sini bisa 100 anak. Usia dari 6- 18 tahun,” tutur Karim, pekerja sosial lain di rumah singgah yang berdiri tahun 2000 tersebut. Menurut Mariana (38), anak-anak mendapat siraman rohani, pelatihan keterampilan, taman bacaan, dan sekolah informal tingkat TK-SD bagi anak pengamen jalanan.
”Acara berlangsung tiap sore sebab dari pagi hingga menjelang sore, anak-anak ada yang sekolah, mengamen, memulung, dan ada yang melakukan ketiganya,” katanya. Untuk keterampilan, ujar Karim, sanggar mendapat bantuan dari Suku Dinas Sosial Jaktim.
Pendidikan berlangsung di tempat yang berpindah-pindah. ”Untuk keterampilan memasak di warung tegal. Bila ada pelatihan keterampilan montir, berlatih di bengkel. Keterampilan merias dan busana berlatih di salon,” papar Karim.
Biaya pelatihan dan transpor ditanggung suku dinsos. Jumlah peserta dibatasi, tak lebih dari 10 orang. Pelatihan ini tidak rutin. Bergantung pada suku dinsos. ”Setahun sekali atau dua kali saja. Lainnya cuma pengajian, taman bacaan, dan pemberian beasiswa dari donatur tak tetap,” ujar Karim. Pengasuh berupaya membuat anak-anak mandiri, tetapi belum berhasil.
Menurut Mariana, rumah singgah milik Yayasan Bahrul Mustafa yang didirikan Ruchiyat ini tak pernah menerima dana dari pemerintah, selain paket pelatihan yang tak bisa diduga kapan datangnya. ”Dana kerja rutin cuma dari Pak Ruchiyat sebulan sebesar Rp 1,5 juta. Lima pekerja sosial di sini tidak dibayar, termasuk saya. Tetapi, kami senang dan baik-baik saja,” ucapnya.
Karim menambahkan, bantuan baru mengalir saat bulan puasa. ”Umumnya, buka puasa sama amplop buat anak-anak,” ungkapnya.
Mariana menjelaskan, tiap tahun, bangunan sanggar yang lebih mirip posko ini tergenang air setinggi pinggang orang dewasa. Kelima pekerja sosial repot menyelamatkan koleksi buku bacaan serta perangkat kerja. Beberapa kali, komputer, kipas angin, dan televisi di posko rusak karena tergenang air. Karim bermimpi, andai ada donatur mau mengubah posko menjadi dua lantai, pasti perangkat kerja dan koleksi buku tak bolak-balik rusak.
Suasana amat berbeda tampak di Pondok Himmata atau Pemerhati Masyarakat Marjinal Kota Jakarta Utara yang memiliki rumah mewah untuk menampung anak jalanan.
Jumat (29/1) siang suara musik terdengar dari radio mengiringi enam remaja yang mengemas cairan berwarna hijau ke dalam botol-botol plastik. Ada yang menuang, menyegel, dan menempel label merek. Keenam remaja itu anak jalanan yang biasa beredar di kawasan Plumpang, Koja, Jakarta Utara. Mereka mengerjakan pesanan 6.000 botol sabun cuci piring dan sampo mobil dengan upah Rp 50.000 per hari.
Pondok Himmata bukan rumah singgah, tetapi rumah yang tempat tinggal sehari-hari 40 anak jalanan. Di sana mereka makan, tidur, bersekolah, dan mengaji.
Bangunan bergaya mediteranian, bercat hijau, oranye, dan putih, bertingkat dua, lantainya berkeramik, dan tampak bersih. ”Kami sengaja membuat rumah ini tampak bagus agar anak- anak ini bangga. Wah, rumah kami bagus,” kata Sarkono, salah seorang pendiri Himmata.
Kondisi fisik Himmata memunculkan tanya, dari mana Himmata punya uang untuk biaya operasional. Sarkono mengaku, uang milik Himmata tidak banyak. Namun, tiap kali perlu sesuatu, selalu ada yang memberi. ”Waktu kami ingin punya rumah ini, ternyata ada orang yang mengumpulkan dana, lalu membangunkan rumah ini. Begitu juga dengan sekolah dan sanggar Himmata. Semuanya masyarakat dan donatur yang membangun,” cerita Sarkono yang menjadi guru Bahasa Indonesia di Sekolah Himmata.
Untuk uang saku anak jalanan ini, Himmata melatih anak usia 15 tahun ke atas membuat sabun cuci piring, sampo mobil, membuka tempat cuci motor, juga mengamen. Ada beberapa anak menjadi figuran sinetron atau film layar lebar. ”Upah mereka kami yang menyimpan, tetapi anak-anak bisa memintanya kapan saja sepanjang untuk keperluan mereka. Semuanya dicatat,” cerita Sarkono.
Rumah singgah, pondok, dan pengelola serta penyumbang yang tulus hati bisa membuat anak-anak tak lagi ke jalan sehingga terhindar dari upaya kekerasan dari pihak lain.

0 komentar: